Clostridium tetani
Pengertian
Tetanus
yang juga dikenal dengan lockjaw [1],
merupakan penyakit
yang disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis
neurotoksin
yang diproduksi oleh Clostridium tetani yang menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan
otot menjadi kaku (rigid).[1]
Kitasato merupakan orang pertama yang berhasil mengisolasi organisme
dari korban
manusia yang terkena tetanus dan juga melaporkan bahwa toksinnya dapat
dinetralisasi dengan antibodi yang spesifik.[1] Kata tetanus
diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein
yang berarti menegang.[2]
Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan
hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum,
melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal,
kejang, dan paralisis pernapasan.
Fisiologi
C. tetani
termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat
membentuk spora, dan berbentuk drumstick.[4]
Spora yang dibentuk oleh C. tetani ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik.[3] Ia
dapat tahan walaupun telah diautoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga
resisten terhadap fenol
dan agen kimia lainnya.[3]
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia
dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian.[1][5]
Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran penceranaan
serta feses dari
kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.[3]
Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin
(sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian sistem
saraf).[1]
C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin.[6]
Fungsi dari tetanoysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat
memengaruhi tetanus.[1]
Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat
Patofisiologi
Tetanus disebabkan neurotoksin
(tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob, Clostridium tetani,
dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam darah tubuh yang
mengalami cedera (periode inkubasi).[4][7]
Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya
adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas
ganggren, dipteri, botulisme).[2]
Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau
sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser
yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.[5]
Pada keadaan anaerobik,
spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif.[3]
Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar
ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa.[3]
Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat
sistem saraf termasuk otak.[3]
Gejala klonis yang ditimbulakan dari toksin tersebut adalah dengan memblok
pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang
tidak terkontrol.[3]
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk
bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol),
sering disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan
wajah.[8]
Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernapasan dan rasio kematian
sangatlah tinggi.[3]
Pencegahan
Mencegah tetanus melalui
vaksinasi adalah jauh lebih baik daripada mengobatinya.[10] Pada
anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT
(difteri, pertusis, tetanus).[10] Bagi
yang sudah dewasa sebaiknya menerima booster.[10]
- Telah menerima booster tetanus dalam waktu 5 tahun terakhir, tidak perlu menjalani vaksinasi lebih lanjut
- Belum pernah menerima booster dalam waktu 5 tahun terakhir, segera diberikan vaksinasi
- Belum pernah menjalani vaksinasi atau vaksinasinya tidak lengkap, diberikan suntikan immunoglobulin tetanus dan suntikan pertama dari vaksinasi 3 bulanan.
Setiap luka (terutama luka
tusukan yang dalam) harus dibersihkan secara seksama karena kotoran dan jaringan mati
akan mempermudah pertumbuhan bakteri Clostridium tetani[10]
Pengobatan
Untuk menetralisir racun, diberikan immunoglobulin tetanus.[7] Antibiotik
tetrasiklin dan penisilin diberikan untuk mencegah pembentukan racun lebih
lanjut, supaya raccun yang ada mati.[7]
Obat lainnya bisa diberikan
untuk menenangkan penderita, mengendalikan kejang dan mengendurkan otot-otot.[7]
Penderita biasanya dirawat di rumah sakit dan ditempatkan dalam ruangan yang tenang.[7] Untuk
infeksi
menengah sampai berat, mungkin perlu dipasang ventilator untuk membantu pernapasan.[7]Makanan
diberikan melalui infus atau selang nasogastrik.[9] Untuk
membuang kotoran, dipasang kateter.[9]
Penderita sebaiknya berbaring bergantian miring ke kiri atau ke kanan dan
dipaksa untuk batuk guna mencegah terjadinya pneumonia.[9]
Untuk mengurangi nyeri diberikan kodein.[9] Obat
lainnya bisa diberikan untuk mengendalikan tekanan darah dan
denyut jantung. Setelah sembuh,
harus diberikan vaksinasi lengkap karena infeksi tetanus tidak memberikan
kekebalan terhadap infeksi berikutnya.
Penyebab Tetanus oleh
Bakteri yang dikenal dengan nama Clostridium tetani, hidup dan berkembang pada
tanah, debu, kotoran hewan, dsb. Luka yang terkontaminasi adalah mata rantai di
mana bakteri tetanus berkembang biak. Luka tusuk seperti yang disebabkan
oleh paku, pecahan, atau gigitan serangga adalah kasus klasik penyebab tetanus yang banyak menginfeksi. Bakteri
juga dapat tertular melalui luka bakar, luka injeksi, dll.
Tetanus juga bisa menjadi bahaya
untuk kedua ibu dan anak yang baru lahir (melahirkan dan melalui tunggul tali
pusar). Racun kuat yang dihasilkan ketika bakteri tetanus berkembang biak
adalah penyebab utama penyakit ini. Gejala tetanus yang ditimbulkan secara umum adalah
kejang.
Penyebab Tetanus : Kerusakan Pada Tubuh
Toksin tetanus mempengaruhi mata
rantai interaksi antara saraf dan otot. Daerah ini disebut sambungan
neuromuskuler. Penyebab tetanus dapat mengeluarkan toksin tetanus
sehingga memperkuat sinyal kimia dari saraf ke otot, yang menyebabkan otot-otot
untuk memperketat kontraksi atau spasme. Hal ini mengakibatkan baik kejang otot
lokal atau umum.
Toksin Tetanus dapat
mempengaruhi neonatus menyebabkan kejang otot. Ini biasanya terjadi dalam dua
minggu pertama setelah kelahiran dan dapat dikaitkan dengan metode sanitasi
yang buruk dalam merawat tunggul tali pusat dari neonatus. Dari catatan, karena
program vaksinasi tetanus, hanya tiga kasus tetanus neonatal dilaporkan sejak
tahun 1990, dan dalam setiap kasus adalah ibu-ibu yang tidak lengkap di imunisasi tetanus toksoid.
Clostridium tetani adalah jenis
bakteri yang bertanggung jawab untuk penyakit tetanus. Bakteri penyebab tetanus
ini ditemukan dalam dua bentuk: sebagai spora (aktif) atau sebagai sel
vegetatif (aktif) yang dapat berkembang biak. Sel bakteri aktif merilis dua
exotoxins, tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi tetanolysin tidak jelas,
tetapi tetanospasmin bertanggung jawab untuk penyakit tetanus.
Penyakit ini biasanya berupa
cedera akut yang menghasilkan lesi di kulit. Kebanyakan kasus hasil dari
tusukan luka, laserasi (terpotong), atau abrasi (terkikis). Gejala tetanus
akan semakin berat jika tanpa ada penatalaksanaan bagi penderita. Tetanus bisa
terjadi pada orang yang tidak diimunisasi atau pada orang yang telah gagal
untuk mempertahankan kekebalan tubuh.
Bacillus anthracis
Pengertian
Bacillus anthracis adalah
bakterium Gram-positif
berbentuk tangkai yang berukuran sekitar 1x6 mikrometer dan merupakan penyebab
penyakit antraks.
B. anthracis adalah
bakterium pertama yang ditunjukkan dapat menyebabkan penyakit. Hal ini
diperlihatkan oleh Robert Koch pada tahun 1877. Nama anthracis
berasal dari bahasa Yunani anthrax (ἄνθραξ), yang berarti batu bara,
merujuk kepada penghitaman kulit pada korban.
Bakteria ini umumnya terdapat di
tanah dalam bentuk spora,
dan dapat hidup selama beberapa dekade dalam bentuk ini. Jika memasuki sejenis herbivora,
bakteria ini akan mulai berkembang biak dalam hewan tersebut dan akhirnya
membunuhnya, dan lalu terus berkembang biak di bangkai hewan tersebut. Saat
gizi-gizi hewan tersebut telah habis diserap, mereka berubah bentuk kembali ke
bentuk spora.
Bacillus anthracis mempunyai gen
dan ciri-ciri yang menyerupai Bacillus cereus,
sejenis bakterium yang biasa ditemukan dalam tanah di seluruh dunia, dan juga
menyerupai Bacillus thuringiensis, pantogen kepada
larva Lepidoptera.
anthrax kembali akrab di telinga
kita akibat pemberitaan media yang gencar mengenai kasus teror menggunakan agen
hayati (bioterorisme) baru-baru ini di Amerika. Dalam kesempatan ini, tak ada
salahnya kita mengenal lebih dalam mengenai bakteri Bacillus anthracis, patogen
penyebab anthrax karena penyakit ini juga dikenal di Indonesia seperti kejadian
di Purwakarta (Januari 2000) dan Bogor (Januari 2001) yang lalu.
Anthrax sudah dikenal lama dalam
sejarah manusia dimana catatan pertama penyakit ini ada dalam sejarah Mesir
kuno. Studi sistematis B. anthracis dimulai akhir abad 19 oleh dua ilmuwan
besar, Robert Koch (ahli ilmu bakteri/bacteriology dari Jerman) dan Louis
Pasteur (ahli ilmu kekebalan tubuh/immunology dari Perancis). Koch, penerima
Hadiah Nobel Kedokteran 1905, untuk pertama kalinya berhasil membiakkan kultur
murni B. anthracis sekaligus menunjukkan bahwa bakteri ini dapat membentuk
spora serta membuktikan B. anthracis sebagai penyebab penyakit anthrax dengan
menyuntikkan pada hewan percobaan pada tahun 1877.
Beberapa tahun kemudian (1881),
Pasteur, “bapak imunisasi”, menggunakan bakteri yang sama berhasil menunjukkan
bahwa imunisasi dapat ditimbulkan melalui penyuntikan B. anthracis yang
dilemahkan dengan percobaannya di depan umum yang terkenal di Pouilly Le Front,
Perancis. Jadi, B. antrachis sebenarnya telah memberikan sumbangan yang besar
bagi kemanusian dengan menjadi model awal studi bacteriology dan immunology.
Gambar 1. Vaksinasi pertama
anthrax. Ilustrasi suasana percobaan di Pouilly Le Front oleh Louis Pasteur.
Setelah itu, beberapa bakteri
patogen lain berhasil diisolasi di lab Koch, misalnya Clostridium tetani yang
menyebabkan tetanus oleh peneliti Jepang, Shibasaburo Kitasato (1894) dan Emil
Adolf von Behring dengan penelitiannya mengenai bakteri Corynebacterium
diphtheriae, penyebab difteri yang mengantarkannya mendapatkan Hadiah
Nobel Kedoteran pertama (1901), empat tahun sebelum gurunya sendiri. Kedua
bakteri tadi mengeluarkan protein toksin (racun) yang menyebabkan kematian.
Protein itu dapat diisolasi dari kultur biakan sehingga memudahkan studi lebih
lanjut.
Akan tetapi hal serupa tidak
ditemukan pada B. antrachis sehingga menghambat studi patogenesis bakteri ini
puluhan tahun. Misalnya, saat itu diduga penyebab kematian anthrax karena
penyumbatan pembuluh kapiler, kekurangan oksigen dan fenomena lain yang
disebabkan oleh bakteri itu sendiri.
Sampai kemudian tahun 1950-an,
Harry Smith, peneliti kimia organik bekerja sama dengan James Keppie, seorang
dokter hewan, berhasil menemukan protein toksin dari darah kelinci percobaan
yang terserang anthrax di Inggris. Mereka membuktikan keberadaan protein racun
tersebut dengan menunjukkan bahwa bakteri sebanyak lebih dari 3 juta/ml darah,
walaupun telah dibunuh dengan antibiotika, tetap menyebabkan kematian. Hal ini
membuktikkan bahwa B. antrachis mengeluarkan racun penyebab kematian.
Melalui penelitian yang
melelahkan, tahun 1954, mereka berhasil mengisolasi protein racun dari plasma
darah menggunakan lebih dari 100 kelinci.
Gambar 2. Mekanisme kerja
racun B. anthracis. Interaksi PA dengan reseptor di permukaan sel mengakibatkan
berpisahnya dua molekul PA (1,2). PA63 kemudian membentuk komplek dengan
sesamanya (3) yang memungkinkan EF dan LF berinteraksi dengannya (4). Komplek
akhir ini yang bisa memasuki sel (5) dimana EF dan LF kemudian lepas dari
komplek dan berfungsi sebagai racun (6).
Protein racun B. antrachis
terdiri dari 3 komponen berbeda yang saling membantu yaitu Lethal Factor (LF),
Oedema Factor (EF) dan Protective Agent (PA). LF adalah komponen sentral racun
ini yang bekerja sebagai protease (enzim pemotong protein) dimana aktivitasnya
bergantung pada logam seng (zinc). Enzim serupa ditemukan pada beberapa bakteri
patogen berbahaya seperti C. tetani, C. botulinum, Vibrio cholerae penyebab
kolera, dsb.
Baru-baru ini diketahui target
LF dalam sel adalah protein MEK1/2 yang bertugas mengantarkan sinyal kimiawi
dari luar ke dalam sel. EF adalah enzim adenylate cyclase yang bekerja
mensintesa molekul cAMP
sehingga peningkatan
kadarnya secara tak terkontrol bisa menyebabkan hilangnya cairan tubuh.
Untuk dapat berfungsi, LF dan EF
perlu masuk sel. Tugas ini dibantu oleh PA. PA awalnya adalah protein yang
terdiri dari satu subunit (monomer) yang bila berikatan dengan reseptor khusus
dalam sel yang akan diserang, menjadi terpotong dua bagian oleh aktivitas protease
furin.
Berikutnya, bagian PA yang masih
berikatan dengan reseptor tadi membentuk heptamer (tujuh subunit) dan
memungkinkan LF dan EF berikatan yang selanjutnya bisa masuk ke dalam sel.
Sebenarnya, masih ada satu lagi
racun B. antrachis yang teridentifikasi, yaitu kapsul spora bakteri itu
sendiri. Kapsul ini terbuat dari polimer asam amino D-glutamate yang berkatnya
spora itu sukar dihancurkan oleh sel pemakan (macrophage). Akan tetapi, racun
pembunuh utama adalah tiga protein tadi, khususnya LF dan PA. Konsentrasi LF
sekecil 0,6 mikrogram bila ada bersama 3 mikrogram PA dapat membunuh macrophage
dalam beberapa jam saja.
Anthrax adalah penyakit hewan
yang dapat menular ke manusia dan bersifat akut. Penyebabnya bakteri Bacillus
anthracis. Menurut drh Suprodjo Hardjo Utomo MS APU dari Balitvet, bakteri ini
bersifat aerob, memerlukan oksigen untuk hidup. Di alam bebas bakteri ini
membentuk spora yang tahan puluhan tahun dalam tanah dan bisa menjadi sumber
penularan pada hewan dan manusia. Kasus di Bogor tejadi karena spora terbawa
banjir. Hewan tertular akibat makan spora yang menempel pada tanaman yang
dimakan. Hewan yang mati akibat anthrax harus langsung dikubur atau dibakar,
tidak boleh dilukai supaya bakteri tidak menyebar.
Penularan pada manusia bisa lewat
kontak langsung spora yang ada di tanah, tanaman, maupun bahan dari hewan sakit
(kulit, daging, tulang atau darah). Mengonsumsi produk hewan yang kena anthrax
atau melalui udara yang mengandung spora, misalnya, pada pekerja di pabrik wool
atau kulit binatang. Karenanya ada empat tipe anthrax, yaitu anthrax kulit,
pencernaan/anthrax usus, pernapasan/anthrax paru dan anthrax otak. Anthrax otak
terjadi jika bakteri terbawa darah masuk ke otak.
Masa inkubasi anthrax kulit
sekitar dua sampai lima
hari. Mula-mula kulit gatal, kemudian melepuh yang jika pecah membentuk
keropeng hitam di tengahnya. Di sekitar keropeng bengkak dan nyeri.
Pada anthrax yang masuk tubuh dalam 24 jam sudah tampak tanda demam. Mual, muntah darah pada anthrax usus, batuk, sesak napas pada anthrax paru, sakit kepala dan kejang pada anthrax otak. Jika tak segera diobati bisa meninggal dalam waktu satu atau dua hari. Namun obatnya sudah ada, yakni penisilin dan derivatnya. Karena setiap petugas kesehatan sudah dilatih untuk menangani, sebaiknya penderita segera dibawa ke Puskesmas atau rumah sakit.
Pada anthrax yang masuk tubuh dalam 24 jam sudah tampak tanda demam. Mual, muntah darah pada anthrax usus, batuk, sesak napas pada anthrax paru, sakit kepala dan kejang pada anthrax otak. Jika tak segera diobati bisa meninggal dalam waktu satu atau dua hari. Namun obatnya sudah ada, yakni penisilin dan derivatnya. Karena setiap petugas kesehatan sudah dilatih untuk menangani, sebaiknya penderita segera dibawa ke Puskesmas atau rumah sakit.
Untuk mencegah tertular anthrax
dianjurkan untuk membeli daging dari tempat pemotongan resmi, memasak daging
secara matang untuk mematikan kuman, serta mencuci tangan sebelum makan.
Menurut staf ahli Bidang Kesehatan Lingkungan dan Epidemiologi Depkes dr I Nyoman Kandun MPH, pemerintah menyediakan obat untuk anthrax di seluruh kabupaten endemis anthrax, memberikan pelatihan surveillance dan diagnosis klinis serta laboratorium di empat provinsi endemis, mendistribusikan poster, leaflet, dan buku petunjuk penanganan anthrax. Serta melakukan kerja sama lintas sektoral dalam pemberantasan anthrax dan langkah penanggulangan lain.
Menurut staf ahli Bidang Kesehatan Lingkungan dan Epidemiologi Depkes dr I Nyoman Kandun MPH, pemerintah menyediakan obat untuk anthrax di seluruh kabupaten endemis anthrax, memberikan pelatihan surveillance dan diagnosis klinis serta laboratorium di empat provinsi endemis, mendistribusikan poster, leaflet, dan buku petunjuk penanganan anthrax. Serta melakukan kerja sama lintas sektoral dalam pemberantasan anthrax dan langkah penanggulangan lain.
Tingkat Kematian Manusia Akibat
Anthrax Mencapai 18 Persen. Penyakit Anthrax memang layak ditakuti karena
sangat mematikan. Sapi, domba atau kambing yang terserang, akan menemui ajal
dalam hitungan jam. Kemampuan membunuh yang sangat cepat ini justru ada
baiknya, karena penularan penyakit anthrak sangat lambat dan tak meluas (endemik,
sporadik). Lain dengan flu yang bisa mewabah hampir di semua muka bumi dengan
begitu cepatnya.
Penyakit Anthrax termasuk
kelompok penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia (Zoonosis). Penyakit
ini paling sering menyerang ternak herbivora terutama Sapi, domba, Kambing dan
selalu berakhir pada kematian. Sasaran berikutnya kuda dan babi. Hewan kelompok
omnivora ini bisa lebih bertahan sehingga sebagian penderita selamat dari maut.
Serangan pada ayam, belum pernah ada laporan. Berdasar penelitan yang selama
ini telah dilakukan, pada manusia, dilaporkan tingkat kematian mencapai 18
persen (dari 100 kasus, 18 penderita meninggal). Penyebab Anthrax, bernama
Bacillus anthracis, dapat bersembunyi dalam tanah selama 70 tahun. Bila situasi
lingkungan cocok bagi pertumbuhan kuman, misalnya karena tergenang air, B
anthracis akan bangkit dari kubur dan menyerang hewan yang ada di sekitarnya.
Karenanya, tanah yang tercemar merupakan sumber infeksi dan bersifat bahaya
laten. Kumannya dapat terserap akar tumbuh-tumbuhan hingga mencapai daun maupun
buah sehingga akan menginfeksi ternak maupun manusia yang mengkonsumsinya.
Sumber infeksi lainnya adalah
bangkai ternak pengindap anthrax. Miliaran B anthracis memadati darah
(septisemia), organ-organ dalam. Pokoknya seluruh tubuh bangkai, termasuk benda
yang keluar dari bangkai, mengandung kuman penyebab anthrax. Dalam 1 mililiter
darah setidaknya mengandung 1 miliar B anthracis. Bila B anthracis aktif
bersinggungan dengan Oksigen, segera mengubah diri dalam bentuk spora yang
memiliki daya tahan hidup lebih tinggi. Dalam bentuk spora ini, kuman penyebab
anthrax dapat bertahan hidup sampai 70 tahun di dalam tanah. Spora-spora
tersebut dapat diterbangkan angin, atau dihanyutkan aliran air kemudian
mencemari apa saja (air, pakan, rumput, peralatan, kendaraan, hewan dan
sebagainya). Spora B anthracis yang menempel pada pakan atau air minum dan
benda lainnya, bila termakan atau terhirup pernafasan atau menempel pada kulit
yang luka akan berubah menjadi bentuk aktif dan masuk ke dalam jaringan serta
berkembang biak. Sejak kuman masuk ke dalam tubuh ternak sampai menimbulkan
gejala sakit yang disebut masa inkubasi memerlukan waktu antara 1 – 2 minggu.
PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN
PENYAKIT ANTRAKS PADA MANUSIA
PENDAHULUAN
Penyakit Antraks merupakan
penyakit menular yang umumnya menyerang hewan ( herbivora ) dan dapat
menyebabkan kesakitan sampai
kematian pada manusia. Dalam keadaan sehari-hari penyakit ini sangat jarang
dijumpai pada manusia. Hal ini disebabkan karena pada umumnya kesakitan pada
manusia selalu berhubungan dengan kejadian kesakitan pada hewan ternak dalam
skala wabah, atau kontak manusia dengan ternak dan produknya didaerah endemis.
Angka resiko terinfeksi pada manusia berkisar 1/ 100.000 dan sebagian besar
merupakan antraks kulit (cutaneous anthrax). (Kenneth,1999)
Oleh karena jarangnya penyakit
ini pada manusia menyebabkan lemahnya sector medis dalam mendeteksi secara dini
(early detection) gejala penyakit dan melakukan pengobatan yang tepat (prompt
treatment) sehingga menyebabkan terjadinya keterlambatan penanganan yang dapat
menyebabkan bertambah beratnya penyakit sampai dengan tingkat kematian. Dalam
upaya untuk mengeleminir penyakit ini perlu kiranya dilakukan sosialisasi
sekaligus pengenalan manifestasi klinis sekaligus bagaimana pengobatan dan
pencegahannya bagi tenaga medis khususnya yang berada di wilayah endemis dan
perbatasan.
PENANGANAN PENYAKIT
Penanganan yang baik senantiasa
harus berpedoman pada pengamatan komprehensif. Sehubungan dengan penanganan
penyakit antraks ini perlu kiranya dilakukan :
Anamnesa terarah
Suatu early diagnosis (diagnosa
dini) penyakit antraks umumnya sulit ditegakkan karena pada awalnya menunjukkan
gejala dan tanda yang bersifat umum. Seperti demam subfebris, sakit kepala,
kelainan kulit, akut abdomen dan sesak nafas. Yang mudah ditegakkan adalah bila
gejala penyakit tersebut sudah menampakkan tanda pathognomonik seperti ?eschar?
pada antraks kulit.Oleh karena sebagian besar manifestasi klinis penyakit
antraks adalah antraks kulit (90%) , ( Marc, La Force, 1994) ; maka umumnya
penderita datang dengan keluhan demam, sakit kepala disertai tumbuhnya papel
yang gatal atau vesikel yang berisi cairan. Pada keadaan seperti inilah perlu
dilakukan anamnesa terarah seperti :
Riwayat sering kontak dengan
ternak atau produknya (kulit, tulang).
Riwayat kontak dengan ternak
sakit
Riwayat mengkonsumsi daging
ternak sakit
Status pekerjaan (petani ladang,
peternak, RPH, penyamak kulit).
Tidak kalah pentingnya bagi
kalangan medis adalah mengetahui dimana dia berada, di wilayah endemis atau
perbatasan.
Pengenalan penyakit
Mendeteksi secara dini penyakit
antraks dapat mudah dilakukan bila kalangan medis sudah pernah melihat secara
langsung kelainan pathognomonis yang ada seperti eschar pada kulit, yaitu kerak
hitam yang berada ditengah ulkus yang mongering. Untuk mengenal penyakit
antraks tersebut maka harus diketahui manifestasi klinisnya.
Antraks kulit
Keluhan penderita : demam
subfebris, sakit kepala.Pada pemeriksaan, umumnya di daerah terbuka seperti
muka, leher, lengan dan tangan ditemukan kelainan berupa papel, vesikel yang
berisi cairan dan jaringan nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi oleh kerak
berwarna hitam, kering yang disebut eschar ( pathognomonik ) disekitar ulkus,
sering didapatkan eritema dan edema. Pada perabaan edema tersebut tidak lunak
dan tidak lekuk ( non pitting ) bila ditekan, disebut juga malignant pustule.
Antraks saluran pencernaan
Keluhan penderita : rasa sakit
perut yang hebat, mual, muntah, tidak napsu makan, suhu badan meningkat,
hematemesis.
Pemeriksaan fisik : perut membesar dan keras, dapat berkembang menjadi ascites dan edema scrotum.
Pemeriksaan fisik : perut membesar dan keras, dapat berkembang menjadi ascites dan edema scrotum.
Antraks paru-paru
Keluhan penderita : demam
subfebris, batuk non produktif, lesu, lemah. Dalam 2 ? 4 hari gangguan
pernafasan menjadi hebatdisertai suhu yang meningkat, sianosis. Dispneu,
keringat berlebihan, detak jantung menjadi lebih cepat.
Pemeriksaan fisik : edema subkutan di daerah dada dan leher.
Pemeriksaan fisik : edema subkutan di daerah dada dan leher.
Antraks meningitis : akibat dari
komplikasi bentuk antraks yang lain. Gejala klinis seperti randang otak maupun
selaput otak yaitu demam, sakit kepala hebat, kejang, penurunan kesadaran, kaku
kuduk.
PENGOBATAN
Penisilin merupakan obat
antibiotika yang paling ampuh untuk penderita antraks yang alami dan jarang
resisten. Pengobatan penderita/ tersangka antraks, tergantung dari tipe atau
gejala klinisnya yaitu;
Antraks kulit ;
Prokain penisilin 2 x 1,2 juta
IU diberikan secara IM selama 5 s.d 7 hari. Atau dapat juga dengan menggunakan
benzil penicillin 2500 IU secara IM setiap 6 jam. Perlu diperhatikan mengingat
drug of choise untuk antraks adalah penicillin sehingga sebelum diberikan
suntikan harus dilakukan skin test terlebih dahulu.
Bila penderita/ tersangka hipersensitif terhadap penisilin dapat diganti dengan memberikan tetrasiklin, klorampenikol atau eritromisin.
Bila penderita/ tersangka hipersensitif terhadap penisilin dapat diganti dengan memberikan tetrasiklin, klorampenikol atau eritromisin.
Antraks intestinal dan pulmonal
Penisilin G 18 ? 24 juta IU /
hari, IVFD ditambah dengan streptomisin 1 ? 2 gram untuk tipe pulmonal, dan
untuk tipe gastro intestinal tetrasiklin 1 gram/ hari.Terapi supportif dan
simptomatis perlu diberikan, biasanya plasma ekspander dan regiment vasopresor
bila diperlukan. (Nalin, dkk 1977), antraks intestinal menggunakan
klorampenikol 6 garam/ hari selama 5 hari, kemudian diteruskan 4 gram/ hari
selama 18 hari, diteruskan dengan eritromisin 4 garam/ hari untuk menghindari
supresi sumsum tulang
Antraks pulmonal oleh karena
bioterrorism
o Pengobatan profilaksis (
terpapar ) ;
Type Pengobatan
Dewasa
Anak-anak
Pengobatan awal
Ciprofloxacin, dosis 500 mg,
setiap 12 jam
AtauDoxycycline, 100 mg oral,2
kali/hari
Ciprofloxacin, 10-15 mg per Kg
BB, oral setiap 12 jam
Atau Doxycycline, 100 mg per
oral, 2 kali/ hari ( > 8 th dan > 45 th)
Pengobatan Optimal
Amoxicilin 500 mg per oral
setiap 8 jam Atau Doxycycline, 100 mg oral, setiap 12 jam Amoxicilin 500 mg per
oral setiap 8 jam ( BB > 20 kg) Untuk BB < 20 kg diberikan 40mg/kg BB per
oral dibagi 3 dosis ( setiap 8 jam )
PENCEGAHAN
Hindari kontak langsung dengan
bahan atau makanan yang berasal dari hewan yang dicurigai terkena antraks.
Cuci tangan dengan sabun sebelum
makan
Cuci sayuran/ buah-buahan
sebelum dimakan
Memasak daging sampai matang
sempurna
Vaksinasi antraks (
penggunaannya selektif dan efek samping tinggi ).
Pengertian
Penyakit taun atau kolera
(juga disebut Asiatic cholera) adalah penyakit
menular di saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakterium Vibrio
cholerae. Bakteri ini biasanya masuk ke dalam tubuh melalui air minum yang
terkontaminasi oleh sanitasi yang tidak benar atau dengan memakan ikan yang
tidak dimasak benar, terutama kerang. Gejalanya termasuk diare, perut keram, mual, muntah, dan dehidrasi.
Kematian biasanya disebabkan oleh dehidrasi. Kalau dibiarkan tak terawat, maka
penderita berisiko kematian tinggi. Perawatan dapat dilakukan dengan rehidrasi
agresif "regimen", biasanya diantar secara intravenous secara
berkelanjutan sampai diare berhenti.
Penyakit kolera (cholera) adalah
penyakit infeksi saluran usus bersifat akut yang disebabkan oleh bakteri Vibrio
cholerae, bakteri ini masuk kedalam tubuh seseorang melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi. Bakteri tersebut mengeluarkan enterotoksin
(racunnya) pada saluran usus sehingga terjadilah diare (diarrhoea) disertai
muntah yang akut dan hebat, akibatnya seseorang dalam waktu hanya beberapa hari
kehilangan banyak cairan tubuh dan masuk pada kondisi dehidrasi.
Apabila
dehidrasi tidak segera ditangani, maka akan berlanjut kearah hipovolemik dan
asidosis metabolik dalam waktu yang relatif singkat dan dapat menyebabkan
kematian bila penanganan tidak adekuat. Pemberian air minum biasa tidak akan
banyak membantu, Penderita (pasien) kolera membutuhkan infus cairan gula
(Dextrose) dan garam (Normal saline) atau bentuk cairan infus yang di mix
keduanya (Dextrose Saline).
Patofisiologi
Pada orang
yang feacesnya ditemukan bakteri kolera mungkin selama 1-2 minggu belum
merasakan keluhan berarti, Tetapi saat terjadinya serangan infeksi maka
tiba-tiba terjadi diare dan muntah dengan kondisi cukup serius sebagai serangan
akut yang menyebabkan samarnya jenis diare yg dialami.
Akan tetapi
pada penderita penyakit kolera ada beberapa hal tanda dan gejala yang
ditampakkan, antara lain ialah :
- Diare yang encer dan berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas atau tenesmus.
- Diare yang encer dan berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas atau tenesmus.
- Feaces
atau kotoran (tinja) yang semula berwarna dan berbau berubah menjadi cairan
putih keruh (seperti air cucian beras) tanpa bau busuk ataupun amis, tetapi
seperti manis yang menusuk.
- Feaces
(cairan) yang menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan akan mengeluarkan
gumpalan-gumpalan putih.
- Diare
terjadi berkali-kali dan dalam jumlah yang cukup banyak.
-
Terjadinya muntah setelah didahului dengan diare yang terjadi, penderita
tidaklah merasakan mual sebelumnya.
- Kejang
otot perut bisa juga dirasakan dengan disertai nyeri yang hebat.
- Banyaknya
cairan yang keluar akan menyebabkan terjadinya dehidrasi dengan tanda-tandanya
seperti ; detak jantung cepat, mulut kering, lemah fisik, mata cekung,
hypotensi dan lain-lain yang bila tidak segera mendapatkan penangan pengganti
cairan tubuh yang hilang dapat mengakibatkan kematian.
Kolera
dapat menyebar sebagai penyakit yang endemik, epidemik, atau pandemik. Meskipun
sudah banyak penelitian bersekala besar dilakukan, namun kondisi penyakit ini
tetap menjadi suatu tantangan bagi dunia kedokteran modern. Bakteri Vibrio
cholerae berkembang biak dan menyebar melalui feaces (kotoran) manusia, bila
kotoran yang mengandung bakteri ini mengkontaminasi air sungai dan sebagainya
maka orang lain yang terjadi kontak dengan air tersebut beresiko terkena
penyakit kolera itu juga.
Misalnya
cuci tangan yang tidak bersih lalu makan, mencuci sayuran atau makanan dengan
air yang mengandung bakteri kolera, makan ikan yang hidup di air terkontaminasi
bakteri kolera, Bahkan air tersebut (seperti disungai) dijadikan air minum oleh
orang lain yang bermukim disekitarnya.
Pengobatan
Penderita
yang mengalami penyakit kolera harus segera mandapatkan penaganan segera, yaitu
dengan memberikan pengganti cairan tubuh yang hilang sebagai langkah awal.
Pemberian cairan dengan cara Infus/Drip adalah yang paling tepat bagi penderita
yang banyak kehilangan cairan baik melalui diare atau muntah. Selanjutnya
adalah pengobatan terhadap infeksi yang terjadi, yaitu dengan pemberian
antibiotik/antimikrobial seperti Tetrasiklin, Doxycycline atau golongan Vibramicyn.
Pengobatan antibiotik ini dalam waktu 48 jam dapat menghentikan diare yang
terjadi.
Pada
kondisi tertentu, terutama diwilayah yang terserang wabah penyakit kolera
pemberian makanan/cairan dilakukan dengan jalan memasukkan selang dari hidung
ke lambung (sonde). Sebanyak 50% kasus kolera yang tergolang berat tidak dapat
diatasi (meninggal dunia), sedangkan sejumlah 1% penderita kolera yang mendapat
penanganan kurang adekuat meninggal dunia. (massachusetts medical society, 2007 :
Getting Serious about Cholera).
Pencegahan
Cara
pencegahan dan memutuskan tali penularan penyakit kolera adalah dengan prinsip
sanitasi lingkungan, terutama kebersihan air dan pembuangan kotoran (feaces)
pada tempatnya yang memenuhi standar lingkungan. Lainnya ialah meminum air yang
sudah dimasak terlebih dahulu, cuci tangan dengan bersih sebelum makan memakai
sabun/antiseptik, cuci sayuran dangan air bersih terutama sayuran yang dimakan
mentah (lalapan), hindari memakan ikan dan kerang yang dimasak setengah matang.
Bila dalam
anggota keluarga ada yang terkena kolera, sebaiknya diisolasi dan secepatnya
mendapatkan pengobatan. Benda yang tercemar muntahan atau tinja penderita harus
di sterilisasi, searangga lalat (vektor) penular lainnya segera diberantas.
Pemberian vaksinasi kolera dapat melindungi orang yang kontak langsung dengan
penderita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
please type your comment